Senin, 24 Oktober 2016

Makalah Perkembangan Perpajakan pada Masa Orde Lama Sampai Saat Ini

Daftar Isi

Cover................................................................................................................ i
Kata Pengantar................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I : Latar Belakang
BAB II : Isi
BAB III : Kesimpulan
Daftar Isi












BAB I
Latar Belakang
            Pajak sudah dikenal sejak ratusan tahun atau lebih seribu tahun yang lalu. Konsep pajak pada masa itu jauh berbeda dengan masa sekarang. Intinya adalah pengalihan harta dari suatu pihak kepada pihak yang lain dengan cara paksaan yang digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa. Begitu juga pada dewasa ini kita sering mendengar istilah pembangunan nasional baik dalam mata kuliah atau media. Kita juga mengetahui bahwa pembangunan tersebut pastilah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Salah satu sumber pemasukan negara bagi pembangunan, yakni pajak. Secara umum persepsi kita mengenai pajak adalah wujud dari seorang warga negara untuk memberikan kontribusi dalam membangun negara dengan mendapat imbalan tidak langsung.
            Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi anggaran (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend). Fungsi anggaran (budgeter) dari pajak adalah memasukkan uang ke kas negara sebanyak - banyaknya untuk keperluan belanja negara. Dalam hal ini pajak lebih difungsikan sebagai alat untuk menarik dana dari masyarakat untuk dimasukkan ke dalam kas negara. Sementara itu, fungsi mengatur (regulerend) pajak berfungsi sebagai alat penggerak masyarakat dalam sarana perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. oleh karena itu, fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah, walaupun kadangkala dari sisi penerimaan (fungsi anggaran) justru tidak menguntungkan.
            Dengan adanya fungsi regulerend Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Melalui fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang letaknya di luar bidang keuangan dan lebih ditujukan pada sektor swasta. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
Konon kabarnya sejarah peradaban umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan. Pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk hidup berkelompok karena ketergantungan satu sama lain. Cara hidup seperti ini akan menciptakan negara, oleh karena itu dibutuhkan sumber-sumber untuk membiayai pengeluaran bersama. Begitu juga yang dialami Bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang untuk pemungutan pajak dalam hal memenuhi kebutuhan negara, memerlukan peraturan perundang-undangan dalam perpajakannya. Untuk itu saya membuat paper ini untuk menambah wawasan kita tentang sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia dari masa orde lama sampai saat ini.







BAB II
ISI
            Dalam membahas tentang perpajakan Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut perkembangan perpajakan di Indonesia pada masa orde lama sampai saat ini :
A.    Pada Zaman Orde Lama (Setelah Kemerdekaan)
      Kemerdekaan Indonesia yang diperoleh pada tahun 1945 telah membawa perubahan yang penting dalam banyak hal termasuk sistem perpajakan. Bila pada masa lalu pajak ditetapkan atas kehendak penguasa secara sepihak maka pajak pada masa sekarang telah berubah sebagai suatu keputusan berdasarkan asas demokrasi dengan tujuan untuk kepentingan rakyat banyak. Namun pada awal kemerdekaan, pajak dan bea masuk sangat sedikit sehingga pendapatan pemerintah semakin tidak sebanding dengan pengeluarannya. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi yang buruk sehingga dalam penerimaan pajaknya pun jadi kurang maksimal, sehingga kas negara Indonesia menjadi kosong.
Dalam sistem perpajakan Indonesia yang digunakan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI ternyata sebagian besar masih merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Kondisi ini kemudian mengakibatkan trauma bagi perpajakan di Indonesia yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial. Namun sistem perpajakannya masih ada yang eksploitatif dan menindas terhadap rakyat.
Seharusnya setelah merdeka, Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
Menurut Bayu Dirgantara (2010), sejak zaman kolonial Belanda sampai sebelum reformasi perpajakan pada tahun 1983 di Indonesia telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut: Ordonansi pajak rumah tangga, Aturan bea meterai, Ordonansi bea balik nama, Ordonansi pajak kekayaan, Ordonansi pajak kendaraan bermotor, Ordonansi pajak upah, Ordonansi pajak potong, Ordonansi pajak pendapatan, Ordonansi pajak perseroan, Undang-Undang pajak radio, Undang-Undang pajak pembangunan I, Undang-Undang pajak peredaran, dan Undang-Undang pajak bumi atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).

B.     Pada Zaman Orde Baru (Tahun 1960-1982)
      Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada sektor pajak.
      Berlandasakan atas Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
      Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yairu dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969 kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak. Pada akhirnya, diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun 1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 Jo Peraturan Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain).
      Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang baru mengalami perubahan. Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan tata cara MPS dan MPO adalah :
a)      MPS adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan membayar sendiri jumlah pajak-pajak, pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b)      Dalam rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu masa pajak.

     Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
a)      Menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan ataupun laba.
b)      Menghitung sendiri besarnya pajak pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas negara.
      Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.
      Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26 Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.

C.    Pada Zaman Reformasi (Tahun 1983-sekarang)
      Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa ternyata tidak berhenti begitu saja.
      Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana penunjang cita-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih berada di bawah standar sistem perpajakn kolonial.
      Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menjebol dan menggantikan secara total sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional). PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh, Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang BBM.
      Sejalan dengan perkembangan pajak yang menjadi pusat pendapatan bagi Negara maka pemerintah perupaya memaksimalkan penerimaan pajak tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang Perpajakan tersebut mengalami perubahan yaitu sebagai berikut :
1.      Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
ü  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
ü  Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
ü  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
ü  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
ü  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
2.      Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan
ü  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
ü  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
ü  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
ü  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
ü  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
3.      Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
ü  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
ü  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984 (Penetapan Pemberlakuan UU PPN)
ü  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994
ü  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
ü  Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
4.      Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
ü  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
ü  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
5.      Undang-Undang tentang Bea Meterai (BM)
ü  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
6.      Undang-Undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
ü  Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
ü  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 (Penetapan Pemberlakuan UU BPHTB)
ü  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
7.      Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
ü  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
ü  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
8.      Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak
ü  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
9.      Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
ü  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
ü  Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
ü  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
      Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN adalah pertama, pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan. Kedua, sistem pemungutan pajak official assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assesment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta mempertanggungjawabkannya. Ketiga, sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan.       Maksud utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana pendukung PSPN telah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan, pemeriksaan, dan sistem informasi serta law enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru.
      Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun 1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP.
      Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
      Dengan dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas aparat pajak sebagai ujung tombak Dirjen Pajak dalam melayani masyarakat.


BAB III
KESIMPULAN

3.      Perbedaan antara UU Lama dengan UU Baru

a. Ciri dan corak perpajakan lama:

1)      Tanggung jawab pemungutan terletak pada pemerintah

2)      System administrasi tergantung pada aparat perpajakan

b. Ciri dan corak system perpajakan nasional:

merupakan wujud peran serta wapa dalam pembangunan nasional

tanggung jawab pelaksanaan pajak ada pada masyarakat sendiri

wp diberi kepercayaan dalam penetapan pajaknya sendiri

penyempurnaan UU perpajakan ini mengacu pada kebijakan pemerintah

















undiksha-warna.jpg
DAFTAR PUSTAKA
Dirgantara,Bayu.2010.Sejarah Pajak di Indonesia. http://financecontroller.             blogspot.com/2010/06/sejarah-pajak-di-indonesia.html. Diakses pada           tanggal 11 Maret 2015.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang- Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara       Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1.

http://ariyanti-ariyanti.blogspot.com/2010/12/reformasi-sistem-perpajakan.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar