Daftar Isi
Cover................................................................................................................ i
Kata
Pengantar................................................................................................. ii
Daftar
Isi.......................................................................................................... iii
BAB
I : Latar Belakang
BAB
II : Isi
BAB
III : Kesimpulan
Daftar
Isi
BAB
I
Latar
Belakang
Pajak sudah dikenal sejak ratusan
tahun atau lebih seribu tahun yang lalu. Konsep pajak pada masa itu jauh
berbeda dengan masa sekarang. Intinya adalah pengalihan harta dari suatu pihak
kepada pihak yang lain dengan cara paksaan yang digunakan untuk kepentingan pihak
yang berkuasa. Begitu juga pada dewasa ini kita sering mendengar istilah
pembangunan nasional baik dalam mata kuliah atau media. Kita juga mengetahui
bahwa pembangunan tersebut pastilah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Salah
satu sumber pemasukan negara bagi pembangunan, yakni pajak. Secara umum
persepsi kita mengenai pajak adalah wujud dari seorang warga negara untuk
memberikan kontribusi dalam membangun negara dengan mendapat imbalan tidak
langsung.
Definisi pajak menurut Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1
berbunyi “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pajak memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi anggaran (budgeter) dan fungsi
mengatur (regulerend). Fungsi
anggaran (budgeter) dari pajak adalah
memasukkan uang ke kas negara sebanyak - banyaknya untuk keperluan belanja
negara. Dalam hal ini pajak lebih difungsikan sebagai alat untuk menarik dana
dari masyarakat untuk dimasukkan ke dalam kas negara. Sementara itu, fungsi
mengatur (regulerend) pajak berfungsi
sebagai alat penggerak masyarakat dalam sarana perekonomian untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. oleh karena itu, fungsi mengatur ini menggunakan pajak
untuk mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan
rencana dan keinginan pemerintah, walaupun kadangkala dari sisi penerimaan
(fungsi anggaran) justru tidak menguntungkan.
Dengan
adanya fungsi regulerend Pemerintah
bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Melalui fungsi
mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang letaknya
di luar bidang keuangan dan lebih ditujukan pada sektor swasta. Contohnya dalam
rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan
berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi
dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar
negeri.
Konon kabarnya sejarah peradaban
umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan. Pajak tercipta karena
kebutuhan manusia untuk hidup berkelompok karena ketergantungan satu sama lain.
Cara hidup seperti ini akan menciptakan negara, oleh karena itu dibutuhkan
sumber-sumber untuk membiayai pengeluaran bersama. Begitu juga yang dialami Bangsa
Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang untuk pemungutan pajak dalam
hal memenuhi kebutuhan negara, memerlukan peraturan perundang-undangan dalam
perpajakannya. Untuk itu saya membuat paper ini untuk menambah wawasan kita
tentang sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia dari masa orde lama sampai
saat ini.
BAB
II
ISI
Dalam
membahas tentang perpajakan Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh
dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang
sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya,
sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial,
ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut perkembangan perpajakan di
Indonesia pada masa orde lama sampai saat ini :
A. Pada Zaman Orde Lama (Setelah
Kemerdekaan)
Kemerdekaan Indonesia yang diperoleh pada tahun 1945 telah membawa perubahan yang penting dalam
banyak hal termasuk sistem perpajakan. Bila pada masa lalu pajak ditetapkan
atas kehendak penguasa secara sepihak maka pajak pada masa sekarang telah
berubah sebagai suatu keputusan berdasarkan asas demokrasi dengan tujuan untuk kepentingan
rakyat banyak. Namun pada awal kemerdekaan, pajak dan bea masuk sangat sedikit
sehingga pendapatan pemerintah semakin tidak sebanding dengan pengeluarannya.
Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi yang buruk sehingga dalam penerimaan
pajaknya pun jadi kurang maksimal, sehingga kas negara Indonesia menjadi
kosong.
Dalam
sistem perpajakan Indonesia yang digunakan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
ternyata sebagian besar masih merupakan sistem perpajakan warisan kolonial.
Kondisi ini kemudian mengakibatkan trauma bagi perpajakan di Indonesia yang
kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial. Namun sistem perpajakannya
masih ada yang eksploitatif dan menindas terhadap rakyat.
Seharusnya
setelah merdeka, Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya
sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI
lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan
usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari
bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu
diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang
sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
Menurut
Bayu Dirgantara (2010), sejak zaman kolonial Belanda sampai sebelum reformasi
perpajakan pada tahun 1983 di Indonesia telah diberlakukan cukup banyak
undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut: Ordonansi
pajak rumah tangga, Aturan bea meterai, Ordonansi bea balik nama, Ordonansi
pajak kekayaan, Ordonansi pajak kendaraan bermotor, Ordonansi pajak upah, Ordonansi
pajak potong, Ordonansi pajak pendapatan, Ordonansi pajak perseroan, Undang-Undang
pajak radio, Undang-Undang pajak pembangunan I, Undang-Undang pajak peredaran,
dan Undang-Undang pajak bumi atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
B. Pada Zaman Orde Baru (Tahun
1960-1982)
Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan
pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat
pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde
Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat
perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada
sektor pajak.
Berlandasakan atas Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah
Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan
pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi,
Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan
administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi
pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yairu
dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969
kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak. Pada akhirnya,
diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun
1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 Jo Peraturan
Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak
Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang
secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO
(Menghitung Pajak Orang Lain).
Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak
dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak
sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang
baru mengalami perubahan. Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan
karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran
utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan
tata cara MPS dan MPO adalah :
a) MPS
adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan membayar sendiri jumlah
pajak-pajak, pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang
Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b) Dalam
rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang
atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu
masa pajak.
Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan
negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
a)
Menghitung sendiri besarnya pendapatan,
kekayaan ataupun laba.
b)
Menghitung sendiri besarnya pajak
pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas
negara.
Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah
pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut
dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.
Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan
sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi
masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami
pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26
Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan
tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang
ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.
C. Pada Zaman Reformasi (Tahun
1983-sekarang)
Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan
menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa
ternyata tidak berhenti begitu saja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang
bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan
kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu
sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah
diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih
mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang
bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan
dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai
sarana penunjang cita-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan
sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti
halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang
berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih
berada di bawah standar sistem perpajakn kolonial.
Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan
Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menjebol dan menggantikan secara total
sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional).
PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang
telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang
Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang
No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi
Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun
1985 tentang BBM.
Sejalan dengan perkembangan pajak yang menjadi pusat pendapatan
bagi Negara maka pemerintah perupaya memaksimalkan penerimaan pajak tersebut.
Oleh karena itu Undang-Undang Perpajakan tersebut mengalami perubahan yaitu
sebagai berikut :
1.
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP)
ü Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983
ü Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1994
ü Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000
ü Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007
ü Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009
2.
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan
ü Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
ü Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1991
ü Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994
ü Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000
ü Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008
3.
Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
ü Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983
ü Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1984 (Penetapan Pemberlakuan UU PPN)
ü Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1994
ü Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000
ü Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009
4.
Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB)
ü Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985
ü Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994
5.
Undang-Undang tentang Bea Meterai (BM)
ü Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1985
6.
Undang-Undang tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
ü Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997
ü Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 (Penetapan Pemberlakuan UU BPHTB)
ü Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000
7.
Undang-Undang tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa (PPSP)
ü Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997
ü Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000
8.
Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak
ü Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002
9.
Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
ü Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997
ü Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000
ü Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009
Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN adalah
pertama, pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang
dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran
serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan. Kedua,
sistem pemungutan pajak official
assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi
pajak berubah menjadi self assesment
yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif
dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta
mempertanggungjawabkannya. Ketiga, sistem perpajakan lama memberikan fasilitas
kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara
menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta
peningkatan kepastian hukum dan pelayanan. Maksud
utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana
pendukung PSPN telah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan,
pemeriksaan, dan sistem informasi serta law
enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan
tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal
Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha
yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan
lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru.
Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun
1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan
secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut
masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai
akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih
membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP.
Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme
dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal
telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah
wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan
kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan
dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas
kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak
lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan
datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari
hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar
hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu
senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau
sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan
kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar
kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas
aparat pajak sebagai ujung tombak Dirjen Pajak dalam melayani masyarakat.
BAB
III
KESIMPULAN
3. Perbedaan antara UU Lama dengan UU Baru
a.
Ciri dan corak perpajakan lama:
1) Tanggung jawab pemungutan terletak pada
pemerintah
2) System administrasi tergantung pada
aparat perpajakan
b.
Ciri dan corak system perpajakan nasional:
merupakan
wujud peran serta wapa dalam pembangunan nasional
tanggung
jawab pelaksanaan pajak ada pada masyarakat sendiri
wp
diberi kepercayaan dalam penetapan pajaknya sendiri
penyempurnaan
UU perpajakan ini mengacu pada kebijakan pemerintah
DAFTAR
PUSTAKA
Dirgantara,Bayu.2010.Sejarah Pajak di Indonesia. http://financecontroller. blogspot.com/2010/06/sejarah-pajak-di-indonesia.html.
Diakses pada tanggal
11 Maret 2015.
Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang- Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan pada
Pasal 1 ayat 1.
http://ariyanti-ariyanti.blogspot.com/2010/12/reformasi-sistem-perpajakan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar